Selasa, 04 Januari 2011

Manusia Terpintar di Dunia




undefinedSiapakah manusia terjenius yang pernah dimiliki dunia? Da Vinci? John Stuart Mills? Atau Albert Einstein seperti yang selama ini diperkirakan orang? Ketiganya memang dianggap jenius-jenius besar yang telah memberikan banyak pengaruh terhadap bidangnya masing-masing. Tapi gelar manusia terjenius yang pernah dimiliki dunia rasanya tetap layak diberikan kepada William James Sidis. Siapakah ia? Mengapa namanya tenggelam dan kurang dikenal walau angka IQnya mencapai kisaran 250–-300?..
Keajaiban Sidis diawali ketika dia bisa makan sendiri dengan menggunakan sendok pada usia 8 bulan. Pada usia belum genap 2 tahun, Sidis sudah menjadikan New York Times sebagai teman sarapan paginya. Semenjak saat itu namanya menjadi langganan headline surat kabar : menulis beberapa buku sebelum berusia 8 tahun, diantaranya tentang anatomy dan astronomy. Pada usia 11 tahun Sidis diterima di Universitas Harvard sebagai murid termuda. Harvardpun kemudian terpesona dengan kejeniusannya ketika Sidis memberikan ceramah tentang Jasad Empat Dimensi di depan para professor matematika.
Lebih dasyat lagi : Sidis mengerti 200 jenis bahasa di dunia dan bisa menerjamahkannya dengan amat cepat dan mudah. Ia bisa mempelajari sebuah bahasa secara keseluruhan dalam sehari !!!! Keberhasilan William Sidis adalah keberhasilan sang Ayah, Boris Sidis yang seorang Psikolog handal berdarah Yahudi. Boris sendiri juga seorang lulusan Harvard, murid psikolog ternama William James (Demikian ia kemudian memberi nama pada anaknya) Boris memang menjadikan anaknya sebagai contoh untuk sebuah model pendidikan baru sekaligus menyerang sistem pendidikan konvensional yang dituduhnya telah menjadi biang keladi kejahatan, kriminalitas dan penyakit. Siapa yang sangka William Sidis kemudian meninggal pada usia yang tergolong muda, 46 tahun - sebuah saat dimana semestinya seorang ilmuwan berada dalam masa produktifnya. Sidis meninggal dalam keadaan menganggur, terasing dan amat miskin. Ironis. Orang kemudian menilai bahwa kehidupan Sidis tidaklah bahagia. Popularitas dan kehebatannya pada bidang matematika membuatnya tersiksa. Beberapa tahun sebelum ia meninggal, Sidis memang sempat mengatakan kepada pers bahwa ia membenci matematika - sesuatu yang selama ini telah melambungkan namanya. Dalam kehidupan sosial, Sidis hanya sedikit memiliki teman. Bahkan ia juga sering diasingkan oleh rekan sekampus. Tidak juga pernah memiliki seorang pacar ataupun istri. Gelar sarjananya tidak pernah selesai, ditinggal begitu saja. Ia kemudian memutuskan hubungan dengan keluarganya, mengembara dalam kerahasiaan, bekerja dengan gaji seadanya, mengasingkan diri. Ia berlari jauh dari kejayaan masa kecilnya yang sebenarnya adalah proyeksi sang ayah. Ia menyadarinya bahwa hidupnya adalah hasil pemolaan orang lain. Namun, kesadaran memang sering datang terlambat.
Mengharukan memang usaha Sidis. Ada keinginan kuat untuk lari dari pengaruh sang Ayah, untuk menjadi diri sendiri. Walau untuk itu Sidis tidak kuasa. Pers dan publik terlanjur menjadikan Sidis sebagai sebuah berita. Kemanapun Sidis bersembunyi, pers pasti bisa mencium. Sidis tidak bisa melepaskan pengaruh sang ayah begitu saja. Sudah terlanjur tertanam sebagai sebuah bom waktu, yang kemudian meledakkan dirinya sendiri.
http://alcapone-network.co.cc/?p=572
William Sidis. Anak yang genius. Catatan prestasinya, pada usianya 5 tahun menulis risalah tentang anatomi, di usianya 8 tahun memperkenalkan tabel logaritma baru, dan masuk Harvard University serta memberi ceramah yang menakjubkan tentang jasad empat deminsional padahal usianya baru menginjak 11 tahun.
Dia adalah anak dari seorang ahli psikologi bernama Boris Sidis. Boris berkeyakinan bahwa pertumbuhan manusia dapat dirangsang dan dengan merangsang pertumbuhan anak sejak dini kita dapat mencegah ‘kejahatan, perbuatan kriminal, dan penyakit’. Keyakinannya itu dibuktikan, anaknya yang dijadikannya percobaan. Dan kejadian, si anak menjadi sangat cerdas bahkan terlalu cerdas.
Boris gembira, setiap kali anak itu menampilkan kehebatannya yang menakjubkan, sang psikolog yang sekaligus ayahnya mengadakan jumpa pers. Media meliput. Dunia melihat dan mendengarkan. Orang-orang tua di Amerika sambil terkagum-kagum menyimak, ingin meniru dan berharap bahwa anak yang diasuhnya juga akan menjadi William Sidis.
Bagaimana halnya dengan William Sidis sendiri. Anak ini diam-diam menampik masa depan yang petanya sudah dibuat oleh ayahnya. Ia kemudian merasakan bahwa publisitas tentang dirinya mengganggu. Bahkan ia merasa tak enak lagi belajar “sesuatu” yang selama ini dikenal sebagai kehebatannya, yaitu matematika.
William Sidis akhirnya meninggalkan pendidikan tingkat sarjananya, tanpa gelar. Ia memutuskan hubungan dengan keluargannya. Ia mengembara, nyaris menghilang. Sampai pada tahun 1937, majalah terkemuka New Yorker menerbitkan satu tulisan tentang dirinya dan kehidupannya yang tersembunyi. Waktu itu Sidis sudah berusia 39 tahun. Tampaklah gambaran keadaan William Sidis yang menyedihkan. Ia dilukiskan tinggal di sebuah kamar yang kusam dan tak rapi. Dilukiskan pula, sang jenius di masa kanak-kanak itu, kini nampak kesulitan merumuskan kata-kata yang tepat untuk mengemukakan pendapatnya. Bila ia temukan kata itu, ia bicara cepat, menganggukkan kepalanya seperti sentakan untuk menandaskan apa yang dimaksudkannya, tangan kirinya bergerak sibuk dan kadang-kadang mengeluarkan bunyi ketawa yang aneh.
William, yang hendak bersembunyi dari publisitas dan masa lalunya, kini seperti harus kembali tampil di depan umum, dalam keadaan telanjang, rudin dan payah. Ia mengadukan New Yorker ke pengadilan, yang telah mengusik haknya untuk menjaga kehidupan pribadinya terbebas dari sorotan umum apalagi dicemoohkan, direndahkan, dan dihinakan. Tapi mahkamah mengalahkannya. Alasannya orang tak punya wewenang menghapuskan masa kecilnya, dan pada saat seseorang jadi tokoh maka makin sedikit ia dapat mengklaim hak untuk privacy.
Hal yang mengagumkan – dan sekaligus mengharukan – bahwa ia telah mencoba untuk menjadi dirinya sendiri dengan memilih hidup miskin dan tak dikenal. Tapi ternyata ia tak punya lagi hak untuk menentukan dirinya sendiri, ia tak bebas menolak jejak orang tuanya, setelah begitu jauh dia melarikan diri.
Betapa tragisnya posisi Sidis. Ia mati muda, mungkin belum sampai 45 tahun. Kisah Sidis memberi pelajaran kepada kita semua. Manusia memang bisa dikarbit, dicetak, diarahkan. Tapi kelak, krisis mengerikan akan menimpa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar